Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia
1)
KERAJAAN KUTAI
Kerajaan tertua bercorak Hindu
di Indonesia adalah kerajaan Kutai. Kerajaan ini terletak di Kalimantan,
tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat
ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa
merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah
Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja
yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Mulawarman adalah anak
Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental
dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman, kemungkinan
adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui
sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta,
yang artinya pembentuk Keluarga.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui
bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan.
Wilayah kekuasaannya meliputi hamper seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat
Kutai hidup sejahtera dan makmur.
2)
KERAJAAN TARUMANEGARA
Lokasi kerajaan, barada di
wilayah jawa barat dan berpusat di bogor.
Sumber sejarah, berasal dari negeri cina yaitu zaman Dinasti T’ang dan berupa prasasti
Kehidupan politik, satu satunya raja yang pernah berkuasa adalah Raja Punawarman.
Sumber sejarah, berasal dari negeri cina yaitu zaman Dinasti T’ang dan berupa prasasti
Kehidupan politik, satu satunya raja yang pernah berkuasa adalah Raja Punawarman.
Sumber sejarah Kerajaan
Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan. Namun,
tulisan pada beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara Cianten dan Prasasti
Pasir Awi sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak informasi berhasil
diperoleh dari tulisan pada kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu
yang merupakan prasasti terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara
adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara
Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Munjul.
Sumber sejarah penting lain yang
dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara adalah catatan sejarah
pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang menyebutkan keberadaan
Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada
tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu
prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui bahwa
Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data sejarah yang lebih
jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang panjang ini, dikatakan
bahwa pada tahun pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai
Gomati. Dari prasati tersebut, dapat disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah
dalam waktu yang cukup lama.
3)
KERAJAAN HOLING
Asal Mula
penyebutan Ho-ling
Nama Ho-ling
sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan
Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal
(420-470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, akan tetapi kemudian
berita-berita Cina dari Dinasti T’ang (618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan
Ho-ling sampai tahun 818. Namun penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul
pada 820-856 M (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1984:93).
Sumber sejarah
Nama Kerajaan Ho-ling sempat tercatat dalam kronik dinasti T’ang
yang memerintah Cina pada 618-906 M. Menurut catatan kronik tersebut, penduduk
Ho-ling biasa makan tanpa menggunakan sendok atau cupit, melainkan dengan
jari-jari tangannya saja, dan gemar minum semacam tuak yang mereka buat dari
getah bunga pohon kelapa (aren). Ibukota Kerajaan Ho-ling dikelilingi pagar
dari kayu. Raja mendiami istana yang bertingkat dua yang beratapkan daun palma.
Raja duduk di atas bangku yang terbuat dari gading, memergunakan juga tikar
yang terbuat dari kulit bambu. Dicatat pula bahwa Ho-ling mempunyai sebuah
bukit yang disebut Lang-pi-ya, yang sering dikunjungi raja untuk melihat laut
(Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:50).
Mengenai Kerajaan Ho-ling, terdapat sumber lain selain kronik dari Dinasti Tang. Seorang pendeta Budha bernama I-tsing, menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37).
Mengenai Kerajaan Ho-ling, terdapat sumber lain selain kronik dari Dinasti Tang. Seorang pendeta Budha bernama I-tsing, menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37).
Letak Kerajaan Ho-ling
Ada dua sumber Cina yang berasal dari Dinasti T’ang memberikan
arahan tentang Kerajaan Ho-ling. Kedua versi tersebut yaitu berita Cina
Ch’iu-tang dan Hsin T’ang Shu. Kedua versi tersebut memberitakan tentang Ho-ling
sebagai berikut: “Ho-ling yang juga disebut She-p’o terletak di lautan selatan.
Sebelah timurnya terletak P’o-li dan disebelah baratnya terletak To-p’o-teng.
Di sebelah selatannya ialah lautan dan disebelah utaranya ialah Chen-la”
(Marwati & Nugroho, 1984:93).
Dalam berita-berita Tionghoa dari jaman pemerintahan raja-raja T’ang (618-906 M) ada disebut nama Kerajaan Kaling atau Ho-ling. Letaknya di Jawa Tengah. Tanahnya sangat kaya, dan di situ pula ada sumber air asin. Rakyatnya hidup makmur dan tentram (Soemono, 1973:36).
Dalam berita-berita Tionghoa dari jaman pemerintahan raja-raja T’ang (618-906 M) ada disebut nama Kerajaan Kaling atau Ho-ling. Letaknya di Jawa Tengah. Tanahnya sangat kaya, dan di situ pula ada sumber air asin. Rakyatnya hidup makmur dan tentram (Soemono, 1973:36).
Sumber lain menyebutkan sebuah analisa berdasarkan sumber Cina.
Prof. NJ Kroom berpendapat bahwa pada akhir abad ke VII ada sebuah ratu yang
memegang tampuk pemerintahan. Prof. NJ Kroom menunjuk bahwa letak Kerajaan
Ho-ling berlokasi di Jawa Tengah. (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah, 1978:50). Jika memadukan pendapat Prof. NJ. Kroom dan kronik dari
dinasti T’ang yang menyebut bukit Lang-pi-ya untuk melihat laut, maka besar
kemungkinan Ho-ling berada di sekitar pesisir atau di Jawa Tengah bagian
pesisir utara. Penyelidikan Drs. Pitono menyimpulkan bahwa Kerajaan Ho-ling
kemungkinan terletak antara Pudakpayung-Salatiga (Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:51).
Tentang Lang-pi-ya disebutkan oleh penulis Hsin-tang-su, bahwa di
sana apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8
kaki, bayangannya akan jatuh di sebelah selatannya dan panjangnya dua kaki
empat inci. Berdasarkan panjang bayangan yang jatuh dari tingginya gnomon tersebut,
bisa dihitung bahwa letak Ho-ling berada pada 6˚ 8’ LU. Dilihat dari perkiraan
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa letak Kerajaan Ho-ling tidak di Jawa.
Akan tetapi penulis Hsin-tang-su tersebut telah membuat dua kekeliruan.
Pertama, semestinya penghitungan bayangan dilakukan pada pertengan musin
dingin. Kedua, jatuhnya bayangan ada di sebelah utaranya. Jika pembenaran ini
bisa diterima, maka letak Ho-ling berada di 6 ˚ 8’ LS, jadi di pantai utara
Pulau Jawa. Koreksi tersebut sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-ya yang terletak
di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem (Marwati & Nugroho, 1984:95).
Koreksi tersebut dikuatkan dengan adanya seorang pendeta Budha
bernama I-tsing yang menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang
pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan
bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci
agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37). Dari bukti yang dibawa I-Tsing ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa di Jawa dalam tahun 664 M terdapat sebuah
kerajaan yang menganut ajaran murni Budhis dan menjadi populer. Kerajaan
tersebut bernama Kerajaan Kalingga yang terletak di Jawa Tengah (kira-kira di
wilayah Kecamatan Keling Kelep, Kabupaten Jepara sekarang ini) (http://www.dhammacakka.or.id/).
Bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa Kerajaan Ho-ling merupakan cikal bakal
Jepara.
Tentang Ratu Shimo (pemerintahan)
Pada 674-675 M (tepatnya tahun 674 M) rakyat Ho-ling memilih dan
mengangkat seorang ratu bernama Si-mo. Konon ratu ini memerintah dengan sangat
kerasnya, namun bijaksana sehingga Ho-ling menjadi negara yang aman.
Pemerintahan Ratu Si-mo ditandai oleh terlaksananya pemerintahan
dengan segala disiplin tinggi. Peraturan ditegakkan dengan sebenar-benarnya.
Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan
di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang bermaksud untuk menyerang Ho-ling.
Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan Ho-ling dengan cara
meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling terkenal
dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani
untuk mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang
tersebut aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang
tersebut. Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi
para menteri mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya,
karena kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri
juga memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong.
Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang Kerajaan
Ho-ling.
Raja tinggal di kota She-p’o. Tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen
telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’o-lu-Chia-ssu. Di
sekeliling She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil yang tunduk pada She-p’o. Menurut
berita dari Ying-huan-tche-lio, perpindahan tersebut terjadi pada masa
T’ien-pao tahun 742-755 M (Marwati & Nugroho, 1984:95).
Mata pencaharian
Kerajaan Ho-ling mempunyai hasil bumiberupa kulit penyu, emas dan
perak, cula badak dan gading. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam
yang disebut sebagai bledug. Penduduk menghasilkan garam dengan memanfaatkan
sumber air garam yang disebut sebagai bledug tersebut.
Keagamaan
Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama Hwu-ning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta tersebut bersama-sama dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan kitab Suci Budha Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan Yun-ki bersama dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Njnanabhadra. (Marwati & Nugroho, 1984:51).
Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama Hwu-ning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta tersebut bersama-sama dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan kitab Suci Budha Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan Yun-ki bersama dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Njnanabhadra. (Marwati & Nugroho, 1984:51).
Hubungan dengan negeri luar
Pada masa Chen-kuang (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja
To-ho-lo To-p’o-teng, menyerahkan upeti ke Cina. Kaisar Cina mengirimkan
balasan yang dengan dibubuhi cap kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda
yang terbaik dan dikabulkan oleh kaisar Cina. Kemudian Kerajaan Ho-ling
mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan 768 M. Utusan yang datang
pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan empat budak sheng-chih
(jenggi), burung kakatua, dan burung p’in-chiat (?) dan benda-benda lainnya.
Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan
tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya.
Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada
keduanya. Sampai dengan tahun 813 M, Ho-ling masih mengirim utusan ke negeri
Cina dengan membawa “hadiah” berupa empat orang budak Sen-ki, burung kakatua,
dan sejumlah jenis burung lainnya (Marwati & Nugroho, 1984: 94).
4)
KERAJAAN MELAYU
Lokasi kerajan, sumatra dan
berpusat di Jambi
Sumber sejarah, buku
seorang musafir dari cina sekitar abad ke-7
Kehidupan politik,
merupakan kerajaan yang mengandalkan pedagangan. Hingga akhirnya kerajaan jatuh
oleh kerajaan sriwijaya.
Kerajaan-kerajaan Buddha di
Sumatra muncul pada sekitar abad ke-6 dan ke-7. Sejarah mencatat ada dua
kerajaan bercorak Buddha di Sumatra, yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan
Sriwijaya. Nama kerajaan Sriwijaya selanjutnya mendominasi hamper seluruh
informasi tentang kerajaan dari Sumatra pada
abad ke -7 hingga ke-11. Kerajaan Melayu merupakan salah satu kerajaan tertua
di Indonesia.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang bias ditemukan, Kerajaan Melayu
diperkirakan berpusat di daerah Jambi, tepatnya di tepi alur Sungai Batanghari.
Di sepanjang alur Sungai Batanghari ditemukan banyak peninggalan berupa candi
dan arca.
Sumber sejarah lain yang dapat
dipergunakan sebagai petunjuk keberadaan Kerajaan Melayu adalah catatan dari
seorang pengelana dari Cina yang bernama I-Tsing (671-695). Ia menyebutkan
bahwa pada abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Melayu yang
secara politik dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dari
cerita I-Tsing, diketahui bahwa Kerajaan Melayu terletak ke dalam Selat Malaka
yang merupakan jalur perdagangan terdekat antara India dan Cina. Menurut Kitab
Negarakertagama, pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan di Jawa
mengadakan ekspedisi penaklukan ke Sumatra.
Ekspedisi tersebut disebut ekspedisi Pamalayu.
Setelah cukup lama di bawah
kekuasaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu muncul kembali sebagai pusat
kekuasaan di Sumatra. Pada abad 17, adityawarman, putra Adwayawarman
memerintah Kerajaan Melayu. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Kemudian, digantikan oleh anaknya Anangwarman.
5)
KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya yang muncul
pada abad ke-6, pada mulanya berpusat di sekitar Sungai Batanghari, pantai
timur Sumatra. Pada perkembangannya, wilayah
kerajaan Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung
Malaya, dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan
di Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing yang pernah
tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M. Pada tahun 692, ketika I-Tsing,
bias disimpilkan bahwa Sriwijaya telah menaklukan dan menguasai
kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Dari Prasasti Kedukan Bukit
(683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi
sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan wilayah
taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan
Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat
dan berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad
ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat
Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami
kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan
perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-wilayah
sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara
dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah
perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja
Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti
Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama
Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman,
hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai
renggang. Hal itu disebabkan oleh seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di
bawah pimpinan Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran
kerajaan Sriwijaya.
6)
KERAJAAN MATARAM KUNO
Di wilayah Jawa Tenggah, pada
sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan Mataram Kuno. Pusat
pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram yang terletak
di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak pegununggan dan
sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan Bengawan Solo. Pusat
pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur.
Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tenggah ke Jawa Timur disebabkan
oleh dua hal.
1. Selama abad ke-7 sampai ke-9,
terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya
pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno semakin
terdesak ke wilayah timur.
2. Terjadinya Letusan Gunung
Merapi yang dianggap sebagai tanda pralaya atau kehancuran dunia. Kemudian,
letak kerajaan di Jawa Tenggah dianggap tidak layak lagi untuk ditempati.
Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan
di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang cukup jelas tentang
kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka
atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta.
Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan
oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita
ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain,
yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya,
penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja
pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya
sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya
menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara
mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja
Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja
Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama
Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan
candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti
tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram
Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai
Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan
Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap
menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi
penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara Rakai
Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga),
dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan
Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan
beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani.
Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah
terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami
kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra).
Ia kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya.
Hal ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan
bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja
Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa
dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas kearah selatan
(sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra.
Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat
hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti
Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja
Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung,
setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai
Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd pelaksana
pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima
patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja
Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui
kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah
Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal.
Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman
perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja
Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki.
Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I
Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan
I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi
warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti
Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain struktur pemerintahan
baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal
sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno
yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih
mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa
Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan
i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri
Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja
Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat
kacau ibu kota.
Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak
kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno juga
dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh
masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak.
Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan
i Hino.
Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra berkuasa
didaerah Begelan dan Yogyakarta pada
pertengahan abad ke-8. Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang
berhasil ditemukan, antara lain prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan
Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan nama Rakai Panangkaran yang
diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa Dinasti Syailendra, untuk mendirikan
sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah vihara bagi para
pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha
Buddha. Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah
dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia
melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860), menyebutkan asal
usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra dari
Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya
yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak oleh dinasti Syailendra.
Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai
Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan
Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah
Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra terhadap
kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra menjalankan strategi
perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samaratungga
dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti Raja Indra adalah Raja
Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi Borobudur. Namun, sebelum
Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga meninggal dunia, dalam
sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan
Sriwijaya dan menjadi raja disana.
7)
KERAJAAN MEDANG KAMULAN
Kerajaan Medang kemulan
diperkirakan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara Sungai Brantas. Ibu kota Medang Kemulan adalah
Watan Mas. Kerajaan ini didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat
pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada
awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kemulan mencakup daerah Nganjuk,
Pasuruan, Surabaya, dan Malang.
Prasasti yang menyebutkan
keberadaan Kerajaan Medang Kemulan, antara lain adalah Prasasti Mpu Sindok dan
Prasasti Kalkuta. Prasasti Mpu Sindok ditemukan di Tangeran, Bangil, dan
Nganjuk. Prasasti bertahun 933 yang ditemukan di Tangeran, Jombang, menyebutkan
bahwa Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan bersama permaisurinya
Sri Wardhani Mpu Kebi. Selain Prasasti Mpu Sindok, sumber sejarah yang lain
adalah Prasasti Kalkuta.
Prasasti bertahun 951 M ini
berasal dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan raja-raja dari
Raja Mpu Sindok. Dari beberapa sumber yang ditemukan, diketahui bahwa sebelum
menjadi raja, Mpu Sindok pernah memangku jabatan sebagai Rakai Halu dan Rakai
Mapatih i Hino pada kerajaan Mataram. Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang
Kemulan dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah bersama permaisuri
yang bernama Mpu Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani Mpu Kebi. Nama
permaisuri Mpu Kebi atau Dyah kebi ini dapat ditemukan dalam Prasasti Cunggrang
dan Prasasti Geweg.
Dari Prasasti Pucangan, kita
memperoleh keterangan tentang para pengganti Mpu Sindok. Pengganti Mpu Sindok
yang terkenal adalah Sri Dharmawangsa dengan gelar Teguh
Anantawikramattanggadewa. Dari prasasti ini di ketahui bahwa pada tahun 1016
Kerajaan Medang Kemulan diserang oleh Kerajaan Wurawari dan Waram. Pulau Jawa
digambarkan mengalami sebuah pralaya (tragedy) yang menyebabkan banyak orang
yang meninggal, termasuk Sri Maharaja Dharmawangsa. Dalam peristiwa itu,
Airlangga (menantu Dharmawangsa) berhasil melarikan diri ke hutan Wonogiri
bersama pengawalnya, Narottama. Mereka hidup bersama dengan para pertapa selama
hamper dua tahun sampai akhirnya Airlangga berhasil menguasasi Kerajaan Medang
Kemulan kembali pada tahun 1019.
Pada tahun 1029, Airlangga
berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Setahun Kemudian, Raja
Wengker berhasil ditaklukannya. Akhirnya, pada tahun 1032, Raja Wurawari yang
dulu menghancurkan Dharmawangsa berhasil dikalahkan. Setelah musuh-musuhnys
dikalahkan, Airlangga mulai menata negaranya. Ia dibantu oleh Narottama yang
diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Airlangga kemudian mengangkat putrinya
yang bernama Sanggraman Wijayatunggadewi menjadi Rakryan Mahamantri i Hino
untuk menjadi raja. Namun, rupanya sang putrid tidak berambisi menjadi raja dan
memilih menjadi pertapa.
Dengan mundurnya putri mahkota, pada tahun 1044, Airlangga memutuskan
untuk membagi kerajaan menjadi dua. Kedua kerajaan ini masing-masing dipimpin
oleh dua putranya. Hal itu dilakukan Raja Airlangga untuk mencegah terjadinya
perang saudara. Dengan bantuan seorang Brahmana bernama Mpu Bharada, Kerajaan
Medang Kemulan dibagi dua. Kerajan Jenggala (yang berarti hutan)dan
Kerajaan Panjalu (kediri).
Jenggala beribu kota
di Kahuripan dan Panjalu beribukota di Daha
8)
KERAJAAN KEDIRI
Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja
yang bergelar Sri Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai
titisan Dewa Wisnu seperti Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah
Bameswara. Bameswara bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara
Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayatunggadewa.
Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan
bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah
dengan Chandra Kirana, putrid Jayabhaya.
Jayabhaya bergelar Sri Maharaja
Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parkrama Digjayotunggadewa
Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini
diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu
Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut
sehingga wilayah Kediri
berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini
diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara dari
Aryyeswara, tidak banyak diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa
pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan
Kerajaan Medang Kemulan.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah
atau Kebo. Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal
kepangkatan tertentu di Kerajaan Kediri.
Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri
dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya
hasil karya sastra Jawa. Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau
kepehlawanan banyak dihasilkan seperti juga bentu cerita kakawin.
Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau
Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri
mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha
membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah
Tumapel (sekarang Malang)
muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-lahan, terjadi arus
pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri
menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan
tentara Kerajaan Kediri
untuk menyerbu Tumapel.
Perang antara pasukan Kertajaya
dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan
kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Kerajaan
Kediri.
9)
KERAJAAN SINGASARI
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah
kitab-kitab kuno, seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan
Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja. Kerajaan Singasari
dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa di
Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya
dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun,
dalam pertempuran di Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian,
Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan
Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa
di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang
bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya,
Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya dengan Ken
Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong ateleng, Panji
Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri,
yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes.
Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun1227, masa
pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak tirinya Anusapati,
sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok
dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh
Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan
Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik
tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun
1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati,
merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga dengan
mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazahanusapati
diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian mengantikan Anusapati menjadi Raja
di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama memerintah karena terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa yang
digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa
Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan Ranggawuni
berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak. Tohjaya
berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi akhirnya
meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan
Singasari kembali kosong.
Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni
naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wishnuwardhana. Mahisa
Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh anugrah kedudukan
sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari dengan
gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang
bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja
Muda). Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika
Wishnuwardhana meninggal di
Mandaragiri, ia
dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha
Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah ayahnya wafat,
Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja Singasari. Dalam
menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat bawahan,
yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu.
Dibawah ketiga Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat
bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan
Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa
ri Kasogatan.
Raja Kertanegara adalah raja
yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat
Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga
keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada
tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra
untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi Pamalayu.
Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan tahun1260.
Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai
Langsat) yang berangka tahun 1286.
Raja Melayu saat itu, Tribhuwana
atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya menyambut hadiah itu dengan suka
cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu secara resmi berada dibawah
kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu kembali ke
Singasari untuk dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh
pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang rencana
perluasan kekuasaan Kaisar Kubilai Khan dari Cina.
Diceritakan bahwa sudah beberapa
kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut pengakuan untuk tunduk
kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan sebagai
pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau
utusan sebagai pernyataan tunduk.
Pada tahun 1289, utusan Cina
bernama Meng K'i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar Kubilai
Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari.
Sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra
untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di
Kerajaan Kediri
yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari melihat kesempatan yang baik untuk
merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota
Kerajaan Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh dating, Raja Kertanegara
beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana
sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari
akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
10)
BALI
Informasi tentang raja-raja yang
pernah memerintah di Kerajaan Bali diperileh terutama dari prasasti Sanur yang
berasal dari 835 Saka atau 913. Prasasti Sanur dibuat oleh Raja Sri
Kesariwarmadewa. Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali
dari Dinasti Warmadewa. Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali, ia memerintah Kerajaan Bali yang berpusat di
Singhamandawa. Pengganti Sri Keariwarmadewa adalah Ugrasena. Selama masa
pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa
desa dari pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian
dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu
(kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga
tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.
Pengganti Ugrasena adalah
Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya, ia berhasil
membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau Manukaya, dekat Tampak
Siring. Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa.
Kemudian Jayasadhu Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahu
secara pasti. Pemerintahan kerajaan Bali
selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu. Ratu ini bergelar Sri Maharaja Sri
Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada tahun 905 Saka atau 938. Beberapa ahli
memperkirakan ratu ini adalah putrid Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno.
Pengganti ratu ini adalah Dharma
Udayana Warmadewa. Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini
disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni,
cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu
banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi
serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Setelah Udayana wafat,
Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali. Putra kedua Udayana ini
menjadi raja Bali berikutnya karena putra
mahkota Airlangga menjadi raja Medang Kemulan. Airlangga menikah dengan putrid
Darmawngasa dari kerajaan Medang Kemulan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan
terlihat bahwa Marakatapangkaja sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan
rakyatnya. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang luas termasak Gianjar,
Buleleng. Tampaksiring dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakn
pembangunan candi di Gunung Kawi.
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah
adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia mengeluarkan 28 buah prasasti yang
menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu adalah raja dari Wangsa
Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali
karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan
dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring).
Setelah anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini
digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka.
Raja Suradhipa kemudian digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang
memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja
Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali
adalah Paduka Batara Sri Artasura yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan
Pulau Bali). Raja ini berusaha mempertahahankan kemerdekaan Bali
dari seranggan Majapahit yang di pimpin oleh Gajah Mada. Sayangnya upaya ini
mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau 1343, Bali
dikuasai Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian dipindah ke
Gelgel dan Klungkung.
11)
KERAJAAN PAJAJARAN
Pusat Kerajaan Pajajaran awalnya
terletak didaerah Galuh, jawa Barat. Raja pertama Kerajaan Pajajaran bernama
Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian direbut oleh saudara Raja Sena
yang bernama Purbasora. Raja Sena dan keluarganya terpaksa meninggalkan
keratin. Tidak lama kemudian, Raja Sena berhasil merebut kembali tahta Kerajaan
Pajajaran.
Raja Pajajaran selanjutnya
adalah Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajajaran mengembangkan
ajaran Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan diperintah oleh Rahyang
Niskala Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan dipindahkan ke
Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam Wuruk. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1357 dan disebut dalam kitab Pararaton sebagai Perang
Bubat.
Ketika perang Bubat terjadi, Sri
Baduga Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas. Kerajaan Pajajaran diambil
alih oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra mahkota Wastu Kencana yang
masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun. Pada Prasasti Batu Tulis,
raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan Pajajaran selanjutnya
diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana. Tohaan, lalu Sang Ratu
Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, diperkirakan bahwa di
Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama islam. Hal ini
tergambar dari tulisan seorang ahli sejarah Portugis yang bernama Tome Pires
(1513) yang mengatakan bahwa di wilayah timur kerajaan ini terdapat banyak penganut
Islam. Tampaknya pengaruh Islam belum masuk ke pusat kerajaan. Namun, pengaruh
Islam dari Kerajaan Demak di Jawa Tegah mulai mengancam Kerajaan Pajajaran.
Oleh karena itu Jayadewata
bermaksud meminta bantuan Portugis di Malaka untuk menghadapi kerajaan Demak.
Usaha itu terlambat karena pada tahun1527, pasukan yang dipimpin oleh Falatehan
dari Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar
Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, yang berkuasa di Pajajaran adalah Ratu Samiam,
putra Jayadewata.
Setelah pelabuhan Sunda Kelapa
direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus menghadapi serangan
Kerajaan Banten dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu Prabu Ratu Dewata,
berusaha mempertahankan ibu kota
Pajajaran dari pasukan Maulana Hasanuddin dan putranya, Maulana Yusuf. Pada
tahun1579, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh setelah Kerajaan Banten yang
bercorak Islam berhasil menguasai Ibu kota
kerajaan. Orang-orang Hindu Pajajaran yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam
akhirnya melarikan diri kedaerah pedalaman dan kemudian hidup sebagai suku
Badui.
12)
KERAJAAN MAJAPAHI
Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa
adalah Majapahit. Nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit
rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama Raden Wijaya membuka hutan di Desa
Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang berubah pahit. Padahal
rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna permukiman
mereka itu sebagai Majapahit.
Awal Berdirinya
Kerajan Majapahit
Kerajaan Hindu-Buddha
yang terakhir dan terbesar di Jawa adalah Majapahit. Kerajaan ini terletak di
sekitar Sungai Brantas, dengan pusat di hutan Tarik di Desa Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya, menantu
Kertanegara, sekitar tahun 1293 M. Setelah berhasil lolos dari
maut penyerangan Kediri, ia bersama para bangsawan Singasari lain yang setia
seperti Nambi, Lembu Sora, Ronggo
Lawe, dan Kebo Anabrang, kemudian meminta bantuan
kepada Arya Wiraraja, yang sebelumnya adalah pejabat Singasari yang oleh
Kertanegara dijadikan bupati di Sumenep, Madura. Atas anjuran Aria Wiraraja,
Bupati Sumenep, Wijaya disarankan menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Atas
jaminan Wiraraja pula Wijaya diterima di Kediri.
Raden Wijaya oleh Jayakatwang
diperbolehkan membuka sebuah hutan untuk dijadikan desa baru, yakni Tarik.
Setelah dibuka, hutan ini disulap menjadi desa tempat membinan kekuatan militer
oleh Wijaya guna membalas dendam terhadap Kediri.
Kemudian hutan Tarik ini dinamai Majapahit. Sejarah Majapahit ini dapat
diketahui dari Pararaton dan Sutasoma karangan Mpu Tantular, Negarakretagama
karangan Prapanca, berita Cina Ying-Yai Sheng Lan, serta Prasasti
Kudadu.
Dua tahun setelah pemberian
hutan Tarik kepada Wijaya dan kawan-kawan, datanglah tentara Kubilai Khan dari
Mongolia yang mendarat di Tuban dan Surabaya. Kedatangan tentara Kubilai Khan
ke Jawa ini bertujuan untuk menghukum Kertanegara, raja Singasari, yang telah
memotong telinga utusannya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ini memberi kesempatan
kepada Raden Wijaya untuk merebut kekuasaan dari Jayakatwang.
Melalui muslihat yang cerdik,
Wijaya lalu mengajak pasukan Mongol yang baru mendarat di Tuban. Pasukan Mongol
yang tak tahu bahwa Kertanegara telah tiada, dengan mudah diliciki oleh Wijaya
bahwa Kediri
seolah-olah adalah Singasari dan Jayakatwang adalah Kertanegara. Pasukan Mongol
mempercayai saja ucapan Wijaya. Lalu terjadilah peristiwa yang diharapkan oleh
Wijaya: pasukan Mongol kemudian menyerang Kediri
dan merebutnya. Pasukan Wijaya pun bergabung dengan tentara Kubilai Khan dalam
menghancurkan Kediri
dan Jayakatwang. Dalam penyerangan ini Jayakatwang tewas terbunuh. Raden Wijaya
kemudian berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan. Ia berhasil mengusir tentara
Kubilai Khan ini kembali ke negerinya. Raden Wijaya kemudian mendirikan
kerajaan baru yang diberi nama Majapahit.
Raja-raja yang memerintah
Majapahit di antaranya: Raden Wijaya (1293-1309), Sri Jayanegara (1309-1328),
Tribhuwanatunggadewi (1328-1350), Hayam Wuruk (1350-1389), dan Wikramawardhana
(1389-1429). Raden Wijaya naik tahta pada tahun 1293 M. Raden Wijaya bergelar
Kertajasa Jayawardhana. Gelar Kertarajasa dipakai karena Raden Wijaya masih
keturunan Ken Arok. Raden Wijaya mengawini keempat putri Kertanegara yaitu
Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri (Rajapatni). Selain
keempat putri Kertanegara, Wijaya juga mengawini Dara Petak, putri boyongan
dari Melayu.
Raden Wijaya memerintah dengan
bijaksana sehingga keadaan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Raden Wijaya tidak
lupa atas jasa para pembantunya yang telah ikut mendirikan Majapahit. Aria
Wiraraja diberi kedudukan sebagai penasihat. Ia berkedudukan di daerah Lumajang
dan Blambangan. Nambi diangkat menjadi Rakyan Mapatih. Lembu Sora diangkat
sebagai patih di Daha. Kebo Anabrang diangkat sebagai panglima perang Kerajaan
Majapahit. Sementara Ranggalawe diangkat sebagai menteri perkembangan
Majapahit.
Pada masa Raden Wijaya sempat
terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh sahabat-sahabat dekat raja yang merasa
tidak puas dengan jabatannya, di antaranya oleh Lembu Sora, Nambi, dan
Ranggalawe. Namun pemberontakan-pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Simping di Blitar
sebagai Siwa dan Wisnu serta di Antapura sebagai Buddha.
Sepeninggal Raden Wijaya
pemerintahan di pegang oleh puteranya yang bernama Kala Gemet yang bergelar Sri
Jayanegara. Tidak seperti ayahnya, Jayanegara dikenal sebagai raja yang tidak
bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Oleh karena itu, banyak pembantunya
merasa tidak puas dan melakukan pemberontakan, di antaranya pemberontakan yang
dilakukan Juru Demung (1313), Wandana dan Wagal (1314), Nambi (1316), Semi
(1318), dan Kuti (1319). Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling
berbahaya adalah pemberontakan Kuti. Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil
menduduki ibu kota
negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan
pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun strategi
dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat
sebagai patih Kahuriapn (1319-1321) dan patih Kediri (1322-1330).
Pada 1328, Jayanegara meninggal.
Abu jenazahnya dimakamkan di Sela Petak dan di Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila
sebagai Buddha Amoghsidi. Jayanegara tidak memiliki anak. Oleh karena itu,
kekuasaan Majapahit diberikan kepada Gayatri, putri Kertanegara dan janda Raden
Wijaya yang masih hidup. Namun karena lebih memilih sebagai biksuni, tahta
kemudian diserahkan kepada putri Gayatri, Tribhuwanatunggadewi.
Tribhuwanatunggadewi memerintah
Majapahit bersama suaminya yang bernama Kertawardhana. Menurut Negarakertagama
disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ini sering
terjadi pemberontakan. Di antaranya: pemberontakan Sadeng dan Kuti tahun 1331.
Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Berkat jasanya, Gajah Mada
kemudian diangkat menjadi mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam
upacara pelantikan sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya: tidak
akan berhenti sebelum berhasil menyatukan Nusantara di bawah panji-panji
Majapahit. Sumpah ini dikenal dengan “Sumpah Amukti Palapa”.
Untuk mewujudkan cita-citanya ini, Gajah Mada membangun armada laut yang kuat
di bawah pimpinan Laksamana Nala.
Pada 1343, dengan bantuan Adityawarman,
Gajah Mada berhasil menaklukan Bali.
Adityawarman kemudian diangkat sebagai penguasa Melayu. Selanjutnya, pasukan
Gajah Mada menguasai Sriwijaya, Tumasik, dan semenanjung Melayu di wilayah
barat. Seram, Guam, dan Dompu di wilayah timur
juga berhasil dikuasainya.
Pada 1350, Tribhuwanatunggadewi
turun tahta dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk.
Ketika itu, Hayam Wuruk berusia 16 tahun. Ia didampingi Gajah Mada sebagai
Mahapatih. Hayam Wuruk bergelar Rajasa Negara. Pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai masa kejayaannya. Dalam Negarakretagama
dijelaskan bahwa pada masa Hayam Wuruk, wilayah Majapahit meliputi seluruh
Nusantara bahkan sampai ke Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Malaya. Daerah
yang belum dapat dikuasai Majapahit adalah Pajajaran.
Pada 1364, Gajah Mada wafat
setelah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun di Majapahit. Pada 1389, Hayam
Wuruk juga wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit
berangsur-angsur mengalami kemunduran. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota
dari permaisuri. Oleh karena itu, putrinya yang bernama Kusumawardhani diangkat
sebagai penguasa Majapahit bersama suaminya yang bernama Wikramawardhana.
Sebenarnya Hayam Wuruk memiliki seorang putra yang bernama Bhre
Wirabhumi dari selirnya. Untuk menghindari pertikaian, Bhre Wirabhumi
diberi kekuasaan di daerah Blambangan, ujung timur di Pulau Jawa.
Setelah Hayam Wuruk meninggal,
terjadi perang saudara antara kedua anak Hayam Wuruk ini. Pengangkatan
Kusumawardhani sebagai penguasa Majapahit tidak disenangi Bhre Wirabhumi. Rasa
tidak senang ini kemudian berkembang menjadi perang saudara yang dikenal dengan
Perang Paregreg (1401-1406). Dalam Perang Paregreg ini Bhre Wirabhumi terbunuh.
Perang berkepanjangan ini membuat Majapahit menjadi semakin lemah. Biaya perang
serta jumlah korban yang demikian besar membuat Majapahit tidak bisa
mempertahankan keutuhan wilayah. Akhirnya, setelah Wikramawardhana meninggal,
Kerajaan Majapahit pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Raja-rajanya antara
lain: Suhita (1429-1447), Kertawijaya (1447-1451), Rajasawardhana (1451-1453),
Purwa Wisesa (1451-1466), Sunghawikrama Wardhana (1466-1447). Keruntuhan
Majapahit diketahui dari Candrasengkala yang berbunyi Sirno Ilang
Kertaning Bumi I yang berarti tahun 1400 Saka atau 1478 M.
Di samping perang saudara yang
berkepanjangan, penyebab lain keruntuhan Majapahit adalah semakin berkembangnya
pengaruh Islam di Nusantara, terutama di daerah-daerah pantai Jawa, seperti
Gresik, Giri, dan Demak. Daerah-daerah ini kemudian melepaskan diri dari
Majapahit. Keadaan ekonomi Majapahit yang buruk pun turut menyebabkan
keruntuhan Majapahit. Pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk mengurus
wilayah kekuasaannya yang demikian luas. Oleh karena itu, banyak daerah yang
kemudian tidak terurus dan menyatakan melepaskan diri dari Majapahit.
Akan tetapi, adapula pendapat
bahwa Majapahit (yang kekuasaannya tinggal seluas ibukotanya sendiri)
benar-benar runtuh setelah ibukota kerajaan tersebut diserang oleh sejumlah
santri-santri muslim dari Kudus yang dibantu oleh Raden Patah dari Demak.
Mereka ingin menghancurkan kerajaan non-Islam pada 1527 M. Ibukota Majapahit
tersebut oleh Tome Pires ditulis Dayo. Patah
merupakan anak Raja Majapahit terakhir Brawijaya V dari selir yang berasal dari
Campa, Cina bagian selatan (Vietnam).
Pada masa Majapahit, sistem
ketatanegaraan telah terstruktur dengan baik. Raja dianggap sebagai penjelmaan
dewa di dunia dan ia memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan
pemerintahan raja dibantu oleh Dewa Sapta Prabu yang bertugas memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota dewa sapta prabu adalah para
sanak saudara raja. Urusan keagamaan diurus oleh dharma dyaksa, yaitu dharmadyaksa
ring kasiwan untuk urusan agama Hindu dan dharmadhyaksa ring kasogatan
untuk urusan agama Buddha.
Kehidupan Sosial-Ekonomi
Masyarakat Majapahit
Dari peninggalan sejarah
diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif hidup rukun, aman, dan tenteram.
Majapahit menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan negara tetangga, di
antaranya dengan Syangka (Muangthai), Dharma Negara, Kalingga (Raja Putera),
Singhanagari (Singapura), Campa dan Annam (Vietnam), serta Kamboja.
Negara-negara sahabat ini disebut dengan Mitreka Satata.
Disebutkan bahwa pada masa Hayam
Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha dapat bekerjasama. Hal ini
diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma atau Purusadashanta yang
berbunyi “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa” yang artinya:
“di antara pusparagam agama adalah kesatuan pada agama yang mendua.”
Rakyat Majapahit terbagi dalam
kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan. Pada umumnya, rakyat Majapahit
adalah petani, sisanya pedagang dan pengrajin. Selain pertanian, Majapahit juga
mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Ini bisa kita simpulkan dari wilayah
kekuasaan Majapahit yang meliputi Nusantara bahkan Asia Tenggara. Barang utama
yang diperdagangkan antara lain rempah-rempah, beras, gading, timah, besi,
intan, dan kayu cendana. Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah
HujungGaluh, Tuban, dan Gresik.
Majapahit memegang dua peranan
penting dalam dunia perdagangan. Pertama, Majapahit adalah sebagai kerajaan
produsen yang menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran. hal ini bisa
dilihat dari wilayah Majapahit yang demikian luas dan meliputi daerah-daerah
yang subur. Kedua, peranan Majapahit adalah sebagai perantara dalam membawa
hasil bumi dari daerah satu ke daerah yang lain.
Perkembangan perdagangan
Majapahit didukung pula oleh hubungan baik yang dibangun penguasa Majapahit
dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Barang-barang dari luar negeri dapat
dipasarkan di pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Dan sebaliknya, barang-barang
Majapahit dapat diperdagangkan di negara-negara tetangga. Hubungan sedemikian
tentu sangat menguntungkan perekonomian Majapahit.
Dalam hal kepemilikan tanah, di
Majapahit sama saja dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan sebelumnya. Begitu
pula mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para
petani selalu bergotong royong dalam hal bercocok tanam dan mengairi sawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar