Selasa, 03 Maret 2015

UJIAN PRAKTEK


     Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia

1)            KERAJAAN KUTAI
Kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia adalah kerajaan Kutai. Kerajaan ini terletak di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk Keluarga.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hamper seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
2)            KERAJAAN TARUMANEGARA
Lokasi kerajaan, barada di wilayah jawa barat dan berpusat di bogor.
Sumber sejarah, berasal dari negeri cina yaitu zaman Dinasti T’ang dan berupa prasasti
Kehidupan politik, satu satunya raja yang pernah berkuasa adalah Raja Punawarman.
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan. Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara Cianten dan Prasasti Pasir Awi sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh dari tulisan pada kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Munjul.
Sumber sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
3)            KERAJAAN HOLING
Asal Mula penyebutan Ho-ling
Nama Ho-ling sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal (420-470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, akan tetapi kemudian berita-berita Cina dari Dinasti T’ang (618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling sampai tahun 818. Namun penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul pada 820-856 M (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1984:93).
Sumber sejarah
Nama Kerajaan Ho-ling sempat tercatat dalam kronik dinasti T’ang yang memerintah Cina pada 618-906 M. Menurut catatan kronik tersebut, penduduk Ho-ling biasa makan tanpa menggunakan sendok atau cupit, melainkan dengan jari-jari tangannya saja, dan gemar minum semacam tuak yang mereka buat dari getah bunga pohon kelapa (aren). Ibukota Kerajaan Ho-ling dikelilingi pagar dari kayu. Raja mendiami istana yang bertingkat dua yang beratapkan daun palma. Raja duduk di atas bangku yang terbuat dari gading, memergunakan juga tikar yang terbuat dari kulit bambu. Dicatat pula bahwa Ho-ling mempunyai sebuah bukit yang disebut Lang-pi-ya, yang sering dikunjungi raja untuk melihat laut (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:50).

Mengenai Kerajaan Ho-ling, terdapat sumber lain selain kronik dari Dinasti Tang. Seorang pendeta Budha bernama I-tsing, menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37).
Letak Kerajaan Ho-ling
Ada dua sumber Cina yang berasal dari Dinasti T’ang memberikan arahan tentang Kerajaan Ho-ling. Kedua versi tersebut yaitu berita Cina Ch’iu-tang dan Hsin T’ang Shu. Kedua versi tersebut memberitakan tentang Ho-ling sebagai berikut: “Ho-ling yang juga disebut She-p’o terletak di lautan selatan. Sebelah timurnya terletak P’o-li dan disebelah baratnya terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya ialah lautan dan disebelah utaranya ialah Chen-la” (Marwati & Nugroho, 1984:93).

Dalam berita-berita Tionghoa dari jaman pemerintahan raja-raja T’ang (618-906 M) ada disebut nama Kerajaan Kaling atau Ho-ling. Letaknya di Jawa Tengah. Tanahnya sangat kaya, dan di situ pula ada sumber air asin. Rakyatnya hidup makmur dan tentram (Soemono, 1973:36).


Sumber lain menyebutkan sebuah analisa berdasarkan sumber Cina. Prof. NJ Kroom berpendapat bahwa pada akhir abad ke VII ada sebuah ratu yang memegang tampuk pemerintahan. Prof. NJ Kroom menunjuk bahwa letak Kerajaan Ho-ling berlokasi di Jawa Tengah. (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:50). Jika memadukan pendapat Prof. NJ. Kroom dan kronik dari dinasti T’ang yang menyebut bukit Lang-pi-ya untuk melihat laut, maka besar kemungkinan Ho-ling berada di sekitar pesisir atau di Jawa Tengah bagian pesisir utara. Penyelidikan Drs. Pitono menyimpulkan bahwa Kerajaan Ho-ling kemungkinan terletak antara Pudakpayung-Salatiga (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978:51).
Tentang Lang-pi-ya disebutkan oleh penulis Hsin-tang-su, bahwa di sana apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya akan jatuh di sebelah selatannya dan panjangnya dua kaki empat inci. Berdasarkan panjang bayangan yang jatuh dari tingginya gnomon tersebut, bisa dihitung bahwa letak Ho-ling berada pada 6˚ 8’ LU. Dilihat dari perkiraan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa letak Kerajaan Ho-ling tidak di Jawa. Akan tetapi penulis Hsin-tang-su tersebut telah membuat dua kekeliruan. Pertama, semestinya penghitungan bayangan dilakukan pada pertengan musin dingin. Kedua, jatuhnya bayangan ada di sebelah utaranya. Jika pembenaran ini bisa diterima, maka letak Ho-ling berada di 6 ˚ 8’ LS, jadi di pantai utara Pulau Jawa. Koreksi tersebut sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-ya yang terletak di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem (Marwati & Nugroho, 1984:95).
Koreksi tersebut dikuatkan dengan adanya seorang pendeta Budha bernama I-tsing yang menyatakan bahwa dalam tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-Ning di Ho-ling, dan tinggal di situ selama 3 tahun. Dengan bantuan Pendeta Ho-ling, Jnanabhadra, ia menerjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37). Dari bukti yang dibawa I-Tsing ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di Jawa dalam tahun 664 M terdapat sebuah kerajaan yang menganut ajaran murni Budhis dan menjadi populer. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Kalingga yang terletak di Jawa Tengah (kira-kira di wilayah Kecamatan Keling Kelep, Kabupaten Jepara sekarang ini) (http://www.dhammacakka.or.id/). Bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa Kerajaan Ho-ling merupakan cikal bakal Jepara.
Tentang Ratu Shimo (pemerintahan)
Pada 674-675 M (tepatnya tahun 674 M) rakyat Ho-ling memilih dan mengangkat seorang ratu bernama Si-mo. Konon ratu ini memerintah dengan sangat kerasnya, namun bijaksana sehingga Ho-ling menjadi negara yang aman.
Pemerintahan Ratu Si-mo ditandai oleh terlaksananya pemerintahan dengan segala disiplin tinggi. Peraturan ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan Ho-ling dengan cara meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling terkenal dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani untuk mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang tersebut aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut. Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri juga memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong. Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang Kerajaan Ho-ling.
Raja tinggal di kota She-p’o. Tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’o-lu-Chia-ssu. Di sekeliling She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil yang tunduk pada She-p’o. Menurut berita dari Ying-huan-tche-lio, perpindahan tersebut terjadi pada masa T’ien-pao tahun 742-755 M (Marwati & Nugroho, 1984:95).
Mata pencaharian
Kerajaan Ho-ling mempunyai hasil bumiberupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai bledug. Penduduk menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai bledug tersebut.
Keagamaan
Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama Hwu-ning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta tersebut bersama-sama dengan Joh-na po-t’o-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan kitab Suci Budha Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-Ning dengan Yun-ki bersama dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Njnanabhadra. (Marwati & Nugroho, 1984:51).
Hubungan dengan negeri luar
Pada masa Chen-kuang (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng, menyerahkan upeti ke Cina. Kaisar Cina mengirimkan balasan yang dengan dibubuhi cap kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda yang terbaik dan dikabulkan oleh kaisar Cina. Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan 768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua, dan burung p’in-chiat (?) dan benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada keduanya. Sampai dengan tahun 813 M, Ho-ling masih mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa “hadiah” berupa empat orang budak Sen-ki, burung kakatua, dan sejumlah jenis burung lainnya (Marwati & Nugroho, 1984: 94).
4)            KERAJAAN MELAYU
Lokasi kerajan, sumatra dan berpusat di Jambi
Sumber sejarah, buku seorang musafir dari cina sekitar abad ke-7
Kehidupan politik, merupakan kerajaan yang mengandalkan pedagangan. Hingga akhirnya kerajaan jatuh oleh kerajaan sriwijaya.
Kerajaan-kerajaan Buddha di Sumatra muncul pada sekitar abad ke-6 dan ke-7. Sejarah mencatat ada dua kerajaan bercorak Buddha di Sumatra, yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya. Nama kerajaan Sriwijaya selanjutnya mendominasi hamper seluruh informasi tentang kerajaan dari Sumatra pada abad ke -7 hingga ke-11. Kerajaan Melayu merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang bias ditemukan, Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di daerah Jambi, tepatnya di tepi alur Sungai Batanghari. Di sepanjang alur Sungai Batanghari ditemukan banyak peninggalan berupa candi dan arca.
Sumber sejarah lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk keberadaan Kerajaan Melayu adalah catatan dari seorang pengelana dari Cina yang bernama I-Tsing (671-695). Ia menyebutkan bahwa pada abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Melayu yang secara politik dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dari cerita I-Tsing, diketahui bahwa Kerajaan Melayu terletak ke dalam Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan terdekat antara India dan Cina. Menurut Kitab Negarakertagama, pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan di Jawa mengadakan ekspedisi penaklukan ke Sumatra. Ekspedisi tersebut disebut ekspedisi Pamalayu.
Setelah cukup lama di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatra. Pada abad 17, adityawarman, putra Adwayawarman memerintah Kerajaan Melayu. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375. Kemudian, digantikan oleh anaknya Anangwarman.
5)            KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya yang muncul pada abad ke-6, pada mulanya berpusat di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada perkembangannya, wilayah kerajaan Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M. Pada tahun 692, ketika I-Tsing, bias disimpilkan bahwa Sriwijaya telah menaklukan dan menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan wilayah taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
6)            KERAJAAN MATARAM KUNO
Di wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram yang terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak pegununggan dan sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan Bengawan Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tenggah ke Jawa Timur disebabkan oleh dua hal.
1. Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.
2. Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda pralaya atau kehancuran dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tenggah dianggap tidak layak lagi untuk ditempati.
Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
 
Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-8. Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan, antara lain prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa Dinasti Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah vihara bagi para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860), menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga meninggal dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya dan menjadi raja disana.
7)            KERAJAAN MEDANG KAMULAN
Kerajaan Medang kemulan diperkirakan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara Sungai Brantas. Ibu kota Medang Kemulan adalah Watan Mas. Kerajaan ini didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kemulan mencakup daerah Nganjuk, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.
Prasasti yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Medang Kemulan, antara lain adalah Prasasti Mpu Sindok dan Prasasti Kalkuta. Prasasti Mpu Sindok ditemukan di Tangeran, Bangil, dan Nganjuk. Prasasti bertahun 933 yang ditemukan di Tangeran, Jombang, menyebutkan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan bersama permaisurinya Sri Wardhani Mpu Kebi. Selain Prasasti Mpu Sindok, sumber sejarah yang lain adalah Prasasti Kalkuta.
Prasasti bertahun 951 M ini berasal dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan raja-raja dari Raja Mpu Sindok. Dari beberapa sumber yang ditemukan, diketahui bahwa sebelum menjadi raja, Mpu Sindok pernah memangku jabatan sebagai Rakai Halu dan Rakai Mapatih i Hino pada kerajaan Mataram. Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah bersama permaisuri yang bernama Mpu Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani Mpu Kebi. Nama permaisuri Mpu Kebi atau Dyah kebi ini dapat ditemukan dalam Prasasti Cunggrang dan Prasasti Geweg.
Dari Prasasti Pucangan, kita memperoleh keterangan tentang para pengganti Mpu Sindok. Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Sri Dharmawangsa dengan gelar Teguh Anantawikramattanggadewa. Dari prasasti ini di ketahui bahwa pada tahun 1016 Kerajaan Medang Kemulan diserang oleh Kerajaan Wurawari dan Waram. Pulau Jawa digambarkan mengalami sebuah pralaya (tragedy) yang menyebabkan banyak orang yang meninggal, termasuk Sri Maharaja Dharmawangsa. Dalam peristiwa itu, Airlangga (menantu Dharmawangsa) berhasil melarikan diri ke hutan Wonogiri bersama pengawalnya, Narottama. Mereka hidup bersama dengan para pertapa selama hamper dua tahun sampai akhirnya Airlangga berhasil menguasasi Kerajaan Medang Kemulan kembali pada tahun 1019.
Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Setahun Kemudian, Raja Wengker berhasil ditaklukannya. Akhirnya, pada tahun 1032, Raja Wurawari yang dulu menghancurkan Dharmawangsa berhasil dikalahkan. Setelah musuh-musuhnys dikalahkan, Airlangga mulai menata negaranya. Ia dibantu oleh Narottama yang diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Airlangga kemudian mengangkat putrinya yang bernama Sanggraman Wijayatunggadewi menjadi Rakryan Mahamantri i Hino untuk menjadi raja. Namun, rupanya sang putrid tidak berambisi menjadi raja dan memilih menjadi pertapa.
Dengan mundurnya putri mahkota, pada tahun 1044, Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaan menjadi dua. Kedua kerajaan ini masing-masing dipimpin oleh dua putranya. Hal itu dilakukan Raja Airlangga untuk mencegah terjadinya perang saudara. Dengan bantuan seorang Brahmana bernama Mpu Bharada, Kerajaan Medang Kemulan dibagi dua. Kerajan Jenggala (yang berarti hutan)dan Kerajaan Panjalu (kediri). Jenggala beribu kota di Kahuripan dan Panjalu beribukota di Daha
8)            KERAJAAN KEDIRI
Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu seperti Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara. Bameswara bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayatunggadewa. Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah dengan Chandra Kirana, putrid Jayabhaya.
Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parkrama Digjayotunggadewa Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara dari Aryyeswara, tidak banyak diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Medang Kemulan.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo. Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan seperti juga bentu cerita kakawin.
Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel.
Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Kerajaan Kediri.
9)            KERAJAAN SINGASARI
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno, seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja. Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri, yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes. Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa yang digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak. Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi akhirnya meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan Singasari kembali kosong.
Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda). Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan tahun1260. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat) yang berangka tahun 1286.
Raja Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya menyambut hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu secara resmi berada dibawah kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu kembali ke Singasari untuk dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang rencana perluasan kekuasaan Kaisar Kubilai Khan dari Cina.
Diceritakan bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan sebagai pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan sebagai pernyataan tunduk.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K'i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari melihat kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh dating, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
10)        BALI
Informasi tentang raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Bali diperileh terutama dari prasasti Sanur yang berasal dari 835 Saka atau 913. Prasasti Sanur dibuat oleh Raja Sri Kesariwarmadewa. Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali dari Dinasti Warmadewa. Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali, ia memerintah Kerajaan Bali yang berpusat di Singhamandawa. Pengganti Sri Keariwarmadewa adalah Ugrasena. Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.
Pengganti Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya, ia berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau Manukaya, dekat Tampak Siring. Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa. Kemudian Jayasadhu Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahu secara pasti. Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu. Ratu ini bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada tahun 905 Saka atau 938. Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putrid Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno.
Pengganti ratu ini adalah Dharma Udayana Warmadewa. Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Setelah Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali. Putra kedua Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota Airlangga menjadi raja Medang Kemulan. Airlangga menikah dengan putrid Darmawngasa dari kerajaan Medang Kemulan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa Marakatapangkaja sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang luas termasak Gianjar, Buleleng. Tampaksiring dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakn pembangunan candi di Gunung Kawi.
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring).
Setelah anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka. Raja Suradhipa kemudian digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali adalah Paduka Batara Sri Artasura yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan Pulau Bali). Raja ini berusaha mempertahahankan kemerdekaan Bali dari seranggan Majapahit yang di pimpin oleh Gajah Mada. Sayangnya upaya ini mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau 1343, Bali dikuasai Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian dipindah ke Gelgel dan Klungkung.
11)        KERAJAAN PAJAJARAN
Pusat Kerajaan Pajajaran awalnya terletak didaerah Galuh, jawa Barat. Raja pertama Kerajaan Pajajaran bernama Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian direbut oleh saudara Raja Sena yang bernama Purbasora. Raja Sena dan keluarganya terpaksa meninggalkan keratin. Tidak lama kemudian, Raja Sena berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajajaran.
Raja Pajajaran selanjutnya adalah Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajajaran mengembangkan ajaran Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan diperintah oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan dipindahkan ke Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam Wuruk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1357 dan disebut dalam kitab Pararaton sebagai Perang Bubat.
Ketika perang Bubat terjadi, Sri Baduga Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas. Kerajaan Pajajaran diambil alih oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra mahkota Wastu Kencana yang masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun. Pada Prasasti Batu Tulis, raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana. Tohaan, lalu Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, diperkirakan bahwa di Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama islam. Hal ini tergambar dari tulisan seorang ahli sejarah Portugis yang bernama Tome Pires (1513) yang mengatakan bahwa di wilayah timur kerajaan ini terdapat banyak penganut Islam. Tampaknya pengaruh Islam belum masuk ke pusat kerajaan. Namun, pengaruh Islam dari Kerajaan Demak di Jawa Tegah mulai mengancam Kerajaan Pajajaran.
Oleh karena itu Jayadewata bermaksud meminta bantuan Portugis di Malaka untuk menghadapi kerajaan Demak. Usaha itu terlambat karena pada tahun1527, pasukan yang dipimpin oleh Falatehan dari Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, yang berkuasa di Pajajaran adalah Ratu Samiam, putra Jayadewata.
Setelah pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus menghadapi serangan Kerajaan Banten dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu Prabu Ratu Dewata, berusaha mempertahankan ibu kota Pajajaran dari pasukan Maulana Hasanuddin dan putranya, Maulana Yusuf. Pada tahun1579, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh setelah Kerajaan Banten yang bercorak Islam berhasil menguasai Ibu kota kerajaan. Orang-orang Hindu Pajajaran yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam akhirnya melarikan diri kedaerah pedalaman dan kemudian hidup sebagai suku Badui.
12)        KERAJAAN MAJAPAHI
Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama Raden Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna permukiman mereka itu sebagai Majapahit.
Awal Berdirinya Kerajan Majapahit
Kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir dan terbesar di Jawa adalah Majapahit. Kerajaan ini terletak di sekitar Sungai Brantas, dengan pusat di hutan Tarik di Desa Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara, sekitar tahun 1293 M. Setelah berhasil lolos dari maut penyerangan Kediri, ia bersama para bangsawan Singasari lain yang setia seperti Nambi, Lembu Sora, Ronggo Lawe, dan Kebo Anabrang, kemudian meminta bantuan kepada Arya Wiraraja, yang sebelumnya adalah pejabat Singasari yang oleh Kertanegara dijadikan bupati di Sumenep, Madura. Atas anjuran Aria Wiraraja, Bupati Sumenep, Wijaya disarankan menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Atas jaminan Wiraraja pula Wijaya diterima di Kediri.
Raden Wijaya oleh Jayakatwang diperbolehkan membuka sebuah hutan untuk dijadikan desa baru, yakni Tarik. Setelah dibuka, hutan ini disulap menjadi desa tempat membinan kekuatan militer oleh Wijaya guna membalas dendam terhadap Kediri. Kemudian hutan Tarik ini dinamai Majapahit. Sejarah Majapahit ini dapat diketahui dari Pararaton dan Sutasoma karangan Mpu Tantular, Negarakretagama karangan Prapanca, berita Cina Ying-Yai Sheng Lan, serta Prasasti Kudadu.
Dua tahun setelah pemberian hutan Tarik kepada Wijaya dan kawan-kawan, datanglah tentara Kubilai Khan dari Mongolia yang mendarat di Tuban dan Surabaya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ke Jawa ini bertujuan untuk menghukum Kertanegara, raja Singasari, yang telah memotong telinga utusannya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ini memberi kesempatan kepada Raden Wijaya untuk merebut kekuasaan dari Jayakatwang.
Melalui muslihat yang cerdik, Wijaya lalu mengajak pasukan Mongol yang baru mendarat di Tuban. Pasukan Mongol yang tak tahu bahwa Kertanegara telah tiada, dengan mudah diliciki oleh Wijaya bahwa Kediri seolah-olah adalah Singasari dan Jayakatwang adalah Kertanegara. Pasukan Mongol mempercayai saja ucapan Wijaya. Lalu terjadilah peristiwa yang diharapkan oleh Wijaya: pasukan Mongol kemudian menyerang Kediri dan merebutnya. Pasukan Wijaya pun bergabung dengan tentara Kubilai Khan dalam menghancurkan Kediri dan Jayakatwang. Dalam penyerangan ini Jayakatwang tewas terbunuh. Raden Wijaya kemudian berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan. Ia berhasil mengusir tentara Kubilai Khan ini kembali ke negerinya. Raden Wijaya kemudian mendirikan kerajaan baru yang diberi nama Majapahit.
Raja-raja yang memerintah Majapahit di antaranya: Raden Wijaya (1293-1309), Sri Jayanegara (1309-1328), Tribhuwanatunggadewi (1328-1350), Hayam Wuruk (1350-1389), dan Wikramawardhana (1389-1429). Raden Wijaya naik tahta pada tahun 1293 M. Raden Wijaya bergelar Kertajasa Jayawardhana. Gelar Kertarajasa dipakai karena Raden Wijaya masih keturunan Ken Arok. Raden Wijaya mengawini keempat putri Kertanegara yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri (Rajapatni). Selain keempat putri Kertanegara, Wijaya juga mengawini Dara Petak, putri boyongan dari Melayu.
Raden Wijaya memerintah dengan bijaksana sehingga keadaan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Raden Wijaya tidak lupa atas jasa para pembantunya yang telah ikut mendirikan Majapahit. Aria Wiraraja diberi kedudukan sebagai penasihat. Ia berkedudukan di daerah Lumajang dan Blambangan. Nambi diangkat menjadi Rakyan Mapatih. Lembu Sora diangkat sebagai patih di Daha. Kebo Anabrang diangkat sebagai panglima perang Kerajaan Majapahit. Sementara Ranggalawe diangkat sebagai menteri perkembangan Majapahit.
Pada masa Raden Wijaya sempat terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh sahabat-sahabat dekat raja yang merasa tidak puas dengan jabatannya, di antaranya oleh Lembu Sora, Nambi, dan Ranggalawe. Namun pemberontakan-pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Simping di Blitar sebagai Siwa dan Wisnu serta di Antapura sebagai Buddha.
Sepeninggal Raden Wijaya pemerintahan di pegang oleh puteranya yang bernama Kala Gemet yang bergelar Sri Jayanegara. Tidak seperti ayahnya, Jayanegara dikenal sebagai raja yang tidak bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Oleh karena itu, banyak pembantunya merasa tidak puas dan melakukan pemberontakan, di antaranya pemberontakan yang dilakukan Juru Demung (1313), Wandana dan Wagal (1314), Nambi (1316), Semi (1318), dan Kuti (1319). Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti. Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai patih Kahuriapn (1319-1321) dan patih Kediri (1322-1330).
Pada 1328, Jayanegara meninggal. Abu jenazahnya dimakamkan di Sela Petak dan di Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha Amoghsidi. Jayanegara tidak memiliki anak. Oleh karena itu, kekuasaan Majapahit diberikan kepada Gayatri, putri Kertanegara dan janda Raden Wijaya yang masih hidup. Namun karena lebih memilih sebagai biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada putri Gayatri, Tribhuwanatunggadewi.
Tribhuwanatunggadewi memerintah Majapahit bersama suaminya yang bernama Kertawardhana. Menurut Negarakertagama disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ini sering terjadi pemberontakan. Di antaranya: pemberontakan Sadeng dan Kuti tahun 1331. Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Berkat jasanya, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam upacara pelantikan sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya: tidak akan berhenti sebelum berhasil menyatukan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Sumpah ini dikenal dengan “Sumpah Amukti Palapa”. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, Gajah Mada membangun armada laut yang kuat di bawah pimpinan Laksamana Nala.
Pada 1343, dengan bantuan Adityawarman, Gajah Mada berhasil menaklukan Bali. Adityawarman kemudian diangkat sebagai penguasa Melayu. Selanjutnya, pasukan Gajah Mada menguasai Sriwijaya, Tumasik, dan semenanjung Melayu di wilayah barat. Seram, Guam, dan Dompu di wilayah timur juga berhasil dikuasainya.
Pada 1350, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk. Ketika itu, Hayam Wuruk berusia 16 tahun. Ia didampingi Gajah Mada sebagai Mahapatih. Hayam Wuruk bergelar Rajasa Negara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai masa kejayaannya. Dalam Negarakretagama dijelaskan bahwa pada masa Hayam Wuruk, wilayah Majapahit meliputi seluruh Nusantara bahkan sampai ke Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Malaya. Daerah yang belum dapat dikuasai Majapahit adalah Pajajaran.
Pada 1364, Gajah Mada wafat setelah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun di Majapahit. Pada 1389, Hayam Wuruk juga wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit berangsur-angsur mengalami kemunduran. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota dari permaisuri. Oleh karena itu, putrinya yang bernama Kusumawardhani diangkat sebagai penguasa Majapahit bersama suaminya yang bernama Wikramawardhana. Sebenarnya Hayam Wuruk memiliki seorang putra yang bernama Bhre Wirabhumi dari selirnya. Untuk menghindari pertikaian, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di daerah Blambangan, ujung timur di Pulau Jawa.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang saudara antara kedua anak Hayam Wuruk ini. Pengangkatan Kusumawardhani sebagai penguasa Majapahit tidak disenangi Bhre Wirabhumi. Rasa tidak senang ini kemudian berkembang menjadi perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg (1401-1406). Dalam Perang Paregreg ini Bhre Wirabhumi terbunuh. Perang berkepanjangan ini membuat Majapahit menjadi semakin lemah. Biaya perang serta jumlah korban yang demikian besar membuat Majapahit tidak bisa mempertahankan keutuhan wilayah. Akhirnya, setelah Wikramawardhana meninggal, Kerajaan Majapahit pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Raja-rajanya antara lain: Suhita (1429-1447), Kertawijaya (1447-1451), Rajasawardhana (1451-1453), Purwa Wisesa (1451-1466), Sunghawikrama Wardhana (1466-1447). Keruntuhan Majapahit diketahui dari Candrasengkala yang berbunyi Sirno Ilang Kertaning Bumi I yang berarti tahun 1400 Saka atau 1478 M.
Di samping perang saudara yang berkepanjangan, penyebab lain keruntuhan Majapahit adalah semakin berkembangnya pengaruh Islam di Nusantara, terutama di daerah-daerah pantai Jawa, seperti Gresik, Giri, dan Demak. Daerah-daerah ini kemudian melepaskan diri dari Majapahit. Keadaan ekonomi Majapahit yang buruk pun turut menyebabkan keruntuhan Majapahit. Pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk mengurus wilayah kekuasaannya yang demikian luas. Oleh karena itu, banyak daerah yang kemudian tidak terurus dan menyatakan melepaskan diri dari Majapahit.
Akan tetapi, adapula pendapat bahwa Majapahit (yang kekuasaannya tinggal seluas ibukotanya sendiri) benar-benar runtuh setelah ibukota kerajaan tersebut diserang oleh sejumlah santri-santri muslim dari Kudus yang dibantu oleh Raden Patah dari Demak. Mereka ingin menghancurkan kerajaan non-Islam pada 1527 M. Ibukota Majapahit tersebut oleh Tome Pires ditulis Dayo. Patah merupakan anak Raja Majapahit terakhir Brawijaya V dari selir yang berasal dari Campa, Cina bagian selatan (Vietnam).
Pada masa Majapahit, sistem ketatanegaraan telah terstruktur dengan baik. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan raja dibantu oleh Dewa Sapta Prabu yang bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota dewa sapta prabu adalah para sanak saudara raja. Urusan keagamaan diurus oleh dharma dyaksa, yaitu dharmadyaksa ring kasiwan untuk urusan agama Hindu dan dharmadhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Majapahit
Dari peninggalan sejarah diketahui bahwa masyarakat Majapahit relatif hidup rukun, aman, dan tenteram. Majapahit menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan negara tetangga, di antaranya dengan Syangka (Muangthai), Dharma Negara, Kalingga (Raja Putera), Singhanagari (Singapura), Campa dan Annam (Vietnam), serta Kamboja. Negara-negara sahabat ini disebut dengan Mitreka Satata.
Disebutkan bahwa pada masa Hayam Wuruk, penganut agama Hindu Siwa dan Buddha dapat bekerjasama. Hal ini diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma atau Purusadashanta yang berbunyi “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa” yang artinya: “di antara pusparagam agama adalah kesatuan pada agama yang mendua.”
Rakyat Majapahit terbagi dalam kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan. Pada umumnya, rakyat Majapahit adalah petani, sisanya pedagang dan pengrajin. Selain pertanian, Majapahit juga mengembangkan perdagangan dan pelayaran. Ini bisa kita simpulkan dari wilayah kekuasaan Majapahit yang meliputi Nusantara bahkan Asia Tenggara. Barang utama yang diperdagangkan antara lain rempah-rempah, beras, gading, timah, besi, intan, dan kayu cendana. Sejumlah pelabuhan terpenting pada masa itu adalah HujungGaluh, Tuban, dan Gresik.
Majapahit memegang dua peranan penting dalam dunia perdagangan. Pertama, Majapahit adalah sebagai kerajaan produsen yang menghasilkan barang-barang yang laku di pasaran. hal ini bisa dilihat dari wilayah Majapahit yang demikian luas dan meliputi daerah-daerah yang subur. Kedua, peranan Majapahit adalah sebagai perantara dalam membawa hasil bumi dari daerah satu ke daerah yang lain.
Perkembangan perdagangan Majapahit didukung pula oleh hubungan baik yang dibangun penguasa Majapahit dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Barang-barang dari luar negeri dapat dipasarkan di pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Dan sebaliknya, barang-barang Majapahit dapat diperdagangkan di negara-negara tetangga. Hubungan sedemikian tentu sangat menguntungkan perekonomian Majapahit.
Dalam hal kepemilikan tanah, di Majapahit sama saja dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan sebelumnya. Begitu pula mengenai perpajakan dan tenaga kerja. Para petani selalu bergotong royong dalam hal bercocok tanam dan mengairi sawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar